Jumat, 02 April 2010

skenario 1 dan 2 kuliah BEDAH MULUT 2

KASUS

Tujuan Instruksional umum (TIU)

Setelah mengikuti kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami penatalaksanaan kasus-kasus infeksi odontogen.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah mengikuti sub pokok bahasan ke1 maka mahasiswa akan mmpu menganalisis tentang keradangan infeksi odontogen, khususnya dalam hal : Patofisiologi keradangan dan perbaikan jaringan (inflammation and repair), infeksi, infeksi odontogen, port de entry infeksi odontogen.

Skenario

1. Penderita anak umur 12 tahun datang dengan keluhan adanya pembengkakan pada daerah rahang kanan. Pembengkakan ini terjadi setelah anak tersebut jatuh dari sepeda 1 hari yang lalu.

Pemeriksaan

Ekstraoral :

Terdapat asimetri wajah, adanya pembengkakan daerah rahang kanan, warna agak biru kemerahan, batas tidak jelas, pada palpasi teraba lunak dan terasa nyeri, tidak didapatkan luka pada wajah.

Intraoral :

Tidak didapatkan luka pada jaringan lunak rongga mulut dan gigi-gigi dalam keadaan baik.

2. Penderita wanita 20 tahun datang dengan keluhan adanya rasa sakit pada gigi geraham rahang bawah kanan belakang, rasa sakit cekot-cekot mulai timbul 5 hari yang lalu penderita pergi ke puskesmas. Saat pergi ke puskesmas penderita merasakan adanya pembengkakan pada pipinya. Di puskesmas penderita diperiksa dan setelahnya mendapat 2 macam obat, yaitu satu macam berjumlah 10 berupa kaplet diminum 4 x sehari, dan satu macam lagi berjumlah 10, diminum 3 x sehari berupa tablet analgesik. Tetapi walau telah taat minum obat dari puskesmas penderita merasa tidak ada perubahan, penderita malah merasa sakit dan bengkaknya bertambah. Penderita juga merasakan sulit membuka mulut (maksimal 2 jari) dan sakit kalau buka mulut lebar. Kemudian penderita memutuskan untuk ke poli gigi bedah mulut dan maksilofasial fakultas kedokteran gigi Universitas Airlangga. Penderita juga merasakan demam sejak 2 hari yang lalu.

Hasil pemeriksaan :

Ekstraoral :

Pembengkakan regio pipi dan ditengah rahang kanan bawah, berbatas tidak jelas, warna merah, pada palpasi pembengkakan teraba padat (firm) dan hangat, tidak ada fluktuasi dan terasa nyeri, pembukaan mulut terbatas 2 jari dan sakit.

Intraoral :

· Terlihat mukosa perikorona regio 48 odematus, merah, pada palpasi terasa nyeri, tidak ada fluktuasi.

· Gigi 48 erupsi sebagian mesioangular

· Gigi 46 sisa akar, pada tekanan (druk) terasa nyeri.

Pemeriksaan penunjang : -

X ray panoramik :

· 48 impaksi mesioangular, gambaran radiolusen pada sebelah mesial daerah mahkota.

· Terlihat gambaran radiolusensi tidak berbatas jelas pada periapikal gigi 46 sisa akar.


LEARNING ISSUE

Skenario 1

Keluhan utama

- Bengkak pada rahang kanan

Keywords

- Anak berusia 12 tahun

- Anak terjatuh dari sepeda 1 hari yang lalu

- Asimetri wajah

- Warna biru kemerahan

- Konsistensi lunak

- Sama sekali tidak ada luka

- Nyeri bila dipalpasi

Learning issue

- Keradangan akut akibat trauma mekanik

Skenario 2

Keluhan utama

- Rasa sakit cekot-cekot pada gigi geraham rahang bawah kanan

Keywords

- Wanita berusia 20 tahun

- Sakit cekot-cekot muncul 5 hari yang lalu

- Pembengkakan di pipi dan asimetri wajah

- Pernah minum obat analgesik dan antibiotik

- Sakit dan bengkak bertambah setelah minum obat

- Trismus

- Demam sejak 2 hari yang lalu

- Bengkak kemerahan dengan baas tidak jelas

- Palpasi terasa padat, hangat, tidak ada fluktuasi, dan terasa nyeri

Learning issue

- Keradangan akibat adanya respon imun terhadap infeksi

PEMBAHASAN

Kasus 1

Pasien anak mengalami bengkak setelah jatuh dari sepeda satu hari yang lalu, bengkak tersebut berwarna agak biru kemerahan dengan batas tidak jelas serta tidak didapatkan luka pada wajah. Intra oral juga tidak didapatkan luka serta gigi dalam keadaan baik.

Adanya jejas berupa trauma fisik yang dialami oleh pasien ini memicu adanya respon pertahanan dari tubuh. Ketika terjadi trauma maka akan menyebabkan adanya kerusakan pada jaringan tubuh, yaitu jaringan lunak dan jaringan keras. Jika terdapat kerusakan jaringan, maka tubuh akan mengadakan respon inflamasi yang merupakan respon vaskular, neurologik, humoral, dan selular. Tanda kardinal inflamasi adalah kalor (panas), dolor (nyeri), rubor (kemerahan), tumor (bengkak), dan fungsiolaesa (kehilangan fungsi jaringan). Tanda kardinal ini muncul saat inflamasi akut yang berlangsung dalam rentang waktu beberapa waktu setelah terjadinya jejas pada tubuh.

Respon inflamasi yang pertama kali dan paling banyak berperan adalah respon vaskuler, dimana akan dilepaskan mediator-mediator inflamasi berupa prostaglandin, serotonin, histamine dan bradikinin. Setelah itu, pembuluh darah akan beradaptasi dengan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. Dengan adanya vasodilatasi, maka akan terjadi hipereremia di jaringan sekitar yang akan memberikan warna kemerahan serta suhu yang agak meninggi. Karena adanya peningkatan permeabilitas maka berbagai bentuk fagosit yang sebelumnya terdapat pada pembuluh darah, yaitu leukosit PMN, neutrofil, histiosit/makrofag akan keluar ke jaringan sebagai respon imun humoral. Fagosit-fagosit tersebut akan bekerja pada jaringan untuk melisis jaringan yang telah mati ataupun antigen jika ada. Hal ini akan menyebabkan jaringan tersebut edema dan membesar atau bengkak. Bengkak ini akan menekan saraf pada jaringan sehingga tercipta sensasi nyeri.

Dalam kasus ini tidak terjadi respon imun yang spesifik karena etiologi inflamasinya adalah trauma mekanis. Inflamasi yang terjadi juga masih dalam fase akut karena trauma terjadi sehari sebelumnya sehingga masih didapatkan tanda kardinal radang.

Kasus 2

Pasien wanita umur 20 tahun mengalami bengkak pada wajah bagian rahang kanan bawah. Pada pemeriksaan intra oral diketahui gigi 46 sisa akar dan gigi 48 erupsi sebagian dan mukosa mengalami perikoronitis. Pasien tersebut telah datang ke puskesmas dan mendapat pramedikasi akan tetapi bengkak yang terjadi lebih parah serta sakit tidak hilang.

Dalam kasus ini terdapat 2 port de entry (jalan masuk bakteri ke dalam tubuh) yaitu region 46, gigi sisa akar dan region 48 yang mengalami perikoronitis akut. 2 port de entry ini akan menyebabkan infeksi pada jaringan sekitarnya, dalam hal ini rahang kanan bawah. Bakteri akan berpenetrasi pada jaringan lalu melakukan invasi dan berkembang biak pada jaringan tersebut. Tentunya bakteri juga melakukan metabolisme untuk mengeluarkan toksin yang berguna untuk meracuni dan merusak hingga mematikan jaringan yang terinfeksi. Untuk melakukan aktivitasnya, bakteri memerlukan nutrisi. Nutrisi ini diambil dari pembuluh darah jaringan. Lama kelamaan bakteri akan memenuhi pembuluh darah dan menyumbatnya. Jika pembuluh darah disumbat, maka jaringan utamanya sel sel syaraf tidak akan mendapatkan nutrisi. Juga karena semakin banyaknya jumlah bakteri dan toksin yang dihasilkannya, maka tekanan dalam gigi akan meningkat sehingga saraf akan terdesak atau terjepit sehingga terdapat rasa nyeri. Karena tidak adanya vaskularisasi dan inervasi pada jaringan, maka jaringan tidak mendapatkan nutrisi dan lama kelamaan akan mengalami nekrosis.

Sebenarnya, tubuh tidak tinggal diam. Tubuh juga melakukan respon inflamasi seperti pada kasus 1, akan tetapi yang berbeda adalah adanya respon imun spesifik pada kasus ini.

Yang pertama adalah gigi 46 sisa akar. Gigi ini pada awalnya mengalami karies. Jika karies tidak segera dirawat, lama kelamaan akan bertambah parah sehingga menapai ruang pulpa. Pada ruang pulpa, seperti yang kita tahu, terdapat pembuluh darah dan saraf. Jika bakteri karies mengenainya maka akan terjadi respon inflamasi pada pulpa. Seperti dijelaskan di atas, setelah bakteri menginvasi dia akan mengeluarkan toksin serta menyumbat pembuluh darah dan mendesak saraf sehingga gigi tersebut mengalami nekrosis. Bakteri yang resisten, akan mengarah ke apikal gigi sambil terus memproduksi toksin dan menyumbat pembuluh darah, hal ini mengakibatkan terjadinya periodontitis apikalis pada gigi tersebut yang menghasilkan produk radang berupa eksudat. Eksudat ini sendiri akan memperparah rasa nyeri karena dia ikut mendesak saraf. Ternyata infeksi bakteri telah meluas sampai ke tulang alveolar di sekitar apikal gigi 46, yang artinya vaskularisasi pada tulang alveolar tersebut terganggu sehingga terjadi kerusakan yang berakibat turunnya densitas tulang. Penurunan densitas tulang ini dalam foto panoramik yang dilakukan pasien bermanifestasi berupa gambaran radiolusen di sekitar apikal gigi 46. Gambaran radiolusen ini dapat berisikan jaringan granulasi, abses ataupun hanya rongga kosong.

Yang kedua adalah perikoronitis akut pada mukosa gigi 48. Perikoronitis ini awalnya disebabkan oleh adanya gigi 48 yang erupsi sebagian mesioangular. Bagian distal gigi telah erupsi sempurna, akan tetapi bagian mesial masih tertanam di dalam mukosa gingiva. Bagian mesial tersebut masih diliputi oleh dental sac yang memberikan gambaran radiolusen di bagian interdental gigi 48 dengan 47 pada foto radiografik. Tetapi hal ini merupakan proses fisiologis. Dental sac itu tentunya terbuka karena bagian distal telah erupsi, pembukaan ini dimanfaatkan oleh bakteri yang terdapat pada debris (sebagaimana diketahui gigi impaksi dapat meretensi sisa makanan dan terkadang sulit untuk dibersihkan sehingga terdapat akumulasi debris dan plak atau kalkulus pada gigi tersebut) yaitu Prevotella intermedia untuk masuk ke jaringan yang lebih dalam. Hal ini akan menimbulkan pericoronal damaged. Tubuh tetap akan merespon keadaan ini dengan respon inflamasi, salah satunya edema yang ditunjukkan oleh adanya bengkak. Edema ini kemungkinan berada di M. Pterygoideus medialis sehingga menyebabkan pasien susah membuka mulut atau disebut trismus.

Oleh puskesmas kejadian ini dipremedikasi dengan antibiotik dan analgesik untuk mengobatinya. Akan tetapi pasien tidak merasakan adanya perubahan, pasien malah merasa sakit dan bengkaknya bertambah. Sakit dan bengkak yang bertambah ini dikarenakan tidak dilakukan drainase untuk mengeluarkan eksudat dari proses radang di gigi 48 ini, meskipun telah diketahui bahwa pasien merasa terjadi pembengkakan pada pipinya. Di dalam jaringan sendiri, eksudat ini dikelilingi oleh dinding yang berfungsi untuk mencegah meluasnya infeksi di sekitar gigi tersebut. Jika eksudat tidak didrainase serta dilakukan premedikasi berupa antibiotik (dalam hal ini analgesik hanya pereda nyeri saja, tanpa berefek pada respon inflamasi sendiri), maka antibiotik tidak dapat menembus dinding eksudat tersebut. Hal ini akan memicu terjadinya ascending infection (penjalaran infeksi lebih lanjut) yang mengakibatkan bertambah besarnya bengkak. Bengkak yang bertambah besar akan menimbulkan nyeri yang lebih hebat karena semakin banyak saraf yang terdesak, ini mengakibatkan analgesik yang diberikan tidak efektif lagi karena dosis analgesik untuk bengkak yang bertambah besar ini kurang.

Bengkak yang bertambah besar ini juga dapat disebabkan oleh pemberian antibiotik yang tidak tepat sehingga tidak berefek apapun pada perikoronitis. Pemberian antibiotik yang tidak tepat sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kultur untuk mengetahui jenis bakteri yang menginfeksi jaringan. Akan tetapi hal ini tidak mungkin selalu dilakukan, sehingga tenaga medis biasanya menggunakan pengalaman empirisnya untuk menentukan antibiotik yang tepat. Umumnya bakteri yang menyebabkan infeksi dalam rongga mulut adalah bakteri coccus aerob gram positif, coccus anaerob gram positif dan batang anaerob gram negatif. Pemberian antibiotik antara 3-5 hari, jika masih terdapat keluhan atau keluhan semakin bertambah maka perlu dilakukan penggantian antibiotik. Tenaga medis di puskesmas kemungkinan besar memberikan antibiotik bakteri aerob untuk mengobati perikoronitis pasien ini. Antibiotik ini tidak tepat karena sebenarnya infeksi telah menjalar ke dalam jaringan, dibuktikan oleh pembengkakan pada awal datang ke puskesmas. Bengkak ini menandakan bakteri telah masuk hingga ke jaringan yang dalam, bakteri yang dapat masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam hanyalah bakteri anaerob. Kesalahan pemberian ini seharusnya sudah dapat dideteksi saat hari ketiga sehingga tidak menambah besar bengkak tersebut, serta dilakukan drainase untuk mengeluarkan eksudat radang.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dua kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada kasus pertama pasien mengalami peradangan akut dengan etiologi trauma mekanis yakni terjatuh dari sepeda satu hari yang lalu. Sedangkan, pada kasus kedua pasien mengalami peradangan akut dan kronis. Keradangan akut disebabkan gigi 48 yang impaksi mesioangular. Pada keradangan kronis disebabkan adanya sisa akar gigi 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar